Literasi Memaksa Guru Dan Siswa Untuk Membaca Dan Menulis
Guru profesional
adalah guru yang mampu mendidik anak muridnya menjadi generasi yang mampu
bersaing, memiliki moral yang baik dan memiliki keterampilan. Guru profesional bukanlah guru yang yang yang telah mendapatkan sertifikat pendidik yabg kemudian mendapatkan tunjangan/tambahan penghasilan profesi karena dianggap profesional.
Seorang pendidik
hendaknya memiliki prilaku yang baik yang mampu menjadi teladan yang patut
diikuti siswa dan masyarakat.
Ki Hajar Dewantara
yang dikenal sebagai tokoh dan pelopor pendidikan dikenal dengan semboyan semboyan Tut Wuri Handayani yang teks
aslinya berbunyi ”Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani”.
Arti dari semboyan ini adalah tut wuri handayani (dari belakang
seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan). Kemudian "ing madya
mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa
dan ide). Ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi
teladan atau contoh tindakan yang baik).
Namun
dalam perkembangan globalisasi, guru enggan mengaplikasikan semboyan tersebut
karena dinilai berat sekali untuk dilakukan. Ya sangat berat, bukan karena guru
tidak mampu, guru itu mampu, manusia itu mampu, setiap manusia itu memiliki kompetensi tetapi tidak mau berusaha, tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Itulah
kekurangannya.
Tidak mau berusaha dan malas. Ini juga soal cara berpikir kreatif seorang guru. Bukan saja masuk kelas, keluar kelas lalu tunggu waktu
dan pulang rumah, besok lagi ke sekolah, masuk sampaikan materi di kelas,
keluar kelas dan menunggu waktu untuk pulang rumah dan seterusnya.
Guru merupakan sosok
yang biasanya dianggap sempurna oleh anak didiknya dan di kalangan masyarakat.
Guru itu dianggap mampu dan tahu segalanya baik dari segi ilmu pengetahuan,
moralitas dan kecakapan hidup atau keterampilan hidup, apalagi zaman semakin
maju dan canggih dengan balutan ilmu pengetahuan dan teknologi maka guru wajib
menguasai informasi teknologi dan kebaruan.
Satu lagi, soal Gerakan literasi
nasional yang dikumandangkan oleh pemerintah dengan dasar hukum Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015
Tentang Penumbuhan Budi Pekerti membuat guru bukan memaksakan siswa
untuk giat membaca 15 menit sebelum memulai pelajaran tetapi guru sudah harus
menjadi contoh dan teladan dalam berliterasi di sekolah.
Gerakan literasi di sekolah merupakan
suatu gerakan perubahan yang progresif revolusioner sehingga mendorong semangat
guru dan siswa agar berketerampilan dan berbudaya dalam membaca dan menulis.
Literasi memaksa guru dan siswa untuk
giat membaca dan menulis sehingga dalam kehidupan sehari-hari baik guru maupun
siswa mampu membuat penyataan, membuat kalimat sesuai bahasa Indonesia yang
baik dan mudah dipahami.
Tetapi kenyataannya ada juga guru yang
memiliki kemampuan literasi rendah sehingga ketika mendeskripsikan dan
menjelaskan sebuah pernyataan atau fakta akan menghasilkan kalimat yang
rancu, tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kok bahasanya rancu tapi guru sendiri memaksakan diri untuk menerbitkan hasil kerjanya kepada publik. aneh juga ya? fakta hari ini begitu. Hal ini memang tidak bisa kita diamkan lalu membenarkannya. Kapan majunya kita? Pantas kualitas pendidian kita seperti ini karena ini membenarkan yang biasa tapi salah bukan membiasakan yang benar.
Pertanyaannya? Siapa yang salah? Guru saja
tidak berliterasi, guru saja tidak kreatif, guru saja tidak inspiratif, tetapi memaksa siswa untuk berliterasi, untuk kreatif. Siswa itu gelap akan pengetahuan, keterampilan dan sikap sosial serta spiritualnya, oleh karena itu guru wajib membuka ruang kegelapan itu menjadi terang, bukan mengancam siswa, dan membunuh karakter siswa, membunuh masa depan siswa.
Seorang guru dianggap
memiliki pengetahuan yang luas dan mumpuni. Memiliki kemampuan dan kecerdasan
di atas rata-rata serta dianggap sosok yang selalu bisa menyesuaikan dengan
perkembangan zaman dan teknologi. Selain itu, guru dianggap punya solusi yang
tepat untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh anak didiknya.
Maka tak jarang guru
menjadi tempat untuk berbagi curhat dan masalah baik yang berkaitan dengan
mata pelajaran maupun yang tidak ada hubungan sama sekali.
Hal itulah
yang menciptakan guru dianggap sosok yang sangat dikagumi dan dihormati.
Ditambah mampu menjaga wibawanya dari sifat dan perilaku yang tidak
terpuji.
Jika hari ini guru
belum menjadi contoh bagi siswa, guru tidak memiliki kreatifitas, guru belum
menjadi sosok inspirasi siswa, jangan heran kualitas pendidikan kita akan
seperti ini terus sampai selama-lamanya. AMIN.
Penulis: Thom Fallo
Post a Comment for "Literasi Memaksa Guru Dan Siswa Untuk Membaca Dan Menulis"