Literasi Memaksa Guru Dan Siswa Untuk Membaca Dan Menulis

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 point 1 menjelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Guru profesional adalah guru yang mampu mendidik anak muridnya menjadi generasi yang mampu bersaing, memiliki moral yang baik dan memiliki keterampilan. Guru profesional bukanlah guru yang yang yang telah mendapatkan sertifikat pendidik yabg kemudian mendapatkan tunjangan/tambahan penghasilan profesi karena dianggap profesional.

Seorang pendidik hendaknya memiliki prilaku yang baik yang mampu menjadi teladan yang patut diikuti siswa dan masyarakat.

Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai tokoh dan pelopor pendidikan dikenal dengan semboyan  semboyan Tut Wuri Handayani yang teks aslinya berbunyi ”Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. 

Arti dari semboyan ini adalah tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan). Kemudian "ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide). Ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).

Namun dalam perkembangan globalisasi, guru enggan mengaplikasikan semboyan tersebut karena dinilai berat sekali untuk dilakukan. Ya sangat berat, bukan karena guru tidak mampu, guru itu mampu, manusia itu mampu, setiap manusia itu memiliki kompetensi tetapi tidak mau berusaha, tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Itulah kekurangannya. 

Tidak mau berusaha dan malas. Ini juga soal cara berpikir kreatif seorang guru. Bukan saja masuk kelas, keluar kelas lalu tunggu waktu dan pulang rumah, besok lagi ke sekolah, masuk sampaikan materi di kelas, keluar kelas dan menunggu waktu untuk pulang rumah dan seterusnya.

Guru merupakan sosok yang biasanya dianggap sempurna oleh anak didiknya dan di kalangan masyarakat. Guru itu dianggap mampu dan tahu segalanya baik dari segi ilmu pengetahuan, moralitas dan kecakapan hidup atau keterampilan hidup, apalagi zaman semakin maju dan canggih dengan balutan ilmu pengetahuan dan teknologi maka guru wajib menguasai informasi teknologi dan kebaruan.

Satu lagi, soal Gerakan literasi nasional yang dikumandangkan oleh pemerintah dengan dasar hukum Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti membuat guru bukan memaksakan siswa untuk giat membaca 15 menit sebelum memulai pelajaran tetapi guru sudah harus menjadi contoh dan teladan dalam berliterasi di sekolah.

Gerakan literasi di sekolah merupakan suatu gerakan perubahan yang progresif revolusioner sehingga mendorong semangat guru dan siswa agar berketerampilan dan berbudaya dalam membaca dan menulis. 

Literasi memaksa guru dan siswa untuk giat membaca dan menulis sehingga dalam kehidupan sehari-hari baik guru maupun siswa mampu membuat penyataan, membuat kalimat sesuai bahasa Indonesia yang baik dan mudah dipahami.

Tetapi kenyataannya ada juga guru yang memiliki kemampuan literasi rendah sehingga ketika mendeskripsikan dan menjelaskan sebuah pernyataan atau fakta akan menghasilkan kalimat yang rancu, tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kok bahasanya rancu tapi guru sendiri memaksakan diri untuk menerbitkan hasil kerjanya kepada publik. aneh juga ya? fakta hari ini begitu. Hal ini memang tidak bisa kita diamkan lalu membenarkannya. Kapan majunya kita? Pantas kualitas pendidian kita seperti ini karena ini membenarkan yang biasa tapi salah bukan membiasakan yang benar.

Pertanyaannya? Siapa yang salah? Guru saja tidak berliterasi, guru saja tidak kreatif, guru saja tidak inspiratif, tetapi memaksa siswa untuk berliterasi, untuk kreatif. Siswa itu gelap akan pengetahuan, keterampilan dan sikap sosial serta spiritualnya, oleh karena itu guru wajib membuka ruang kegelapan itu menjadi terang, bukan mengancam siswa, dan membunuh karakter siswa, membunuh masa depan siswa.

Seorang guru dianggap memiliki pengetahuan yang luas dan mumpuni. Memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata serta dianggap sosok yang selalu bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi. Selain itu, guru dianggap punya solusi yang tepat untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh anak didiknya.

Maka tak jarang guru menjadi tempat untuk berbagi curhat dan masalah baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang tidak ada hubungan sama sekali. 

Hal itulah yang menciptakan guru dianggap sosok yang sangat dikagumi dan dihormati. Ditambah  mampu menjaga wibawanya dari sifat dan perilaku yang tidak terpuji.

Jika hari ini guru belum menjadi contoh bagi siswa, guru tidak memiliki kreatifitas, guru belum menjadi sosok inspirasi siswa, jangan heran kualitas pendidikan kita akan seperti ini terus sampai selama-lamanya. AMIN.

Penulis: Thom Fallo


Post a Comment for "Literasi Memaksa Guru Dan Siswa Untuk Membaca Dan Menulis"