Kembara Fiksi

Beberapa hari bahkan satu bulan ini, kata fiksi begitu menarik. Pemahaman entah tuntas atau tidak, buta huruf hingga profesor (ahli bahasa) tertarik dalam terminologi ini.

Intinya ada imajinasi terbangun untuk sebuah hidden agenda. Para "pemain" secara sadar, sistematis, terencana memainkan fiksi.

Beberapa orang kritis, mudah saja membaca arah permainan ini. Ada yang bilang, ini kan tahun politik.

Putra-putri terbaik bersaing, berjuang untuk dapat duduk di tampuk kekuasaan. Para pendukung pun sibuk. Terminologi bola, saling berbagi peran. Ada striker, gelandang, back, ada juga keeper.

Masing-masing dengan perannya. Hemat kata ada yang berperan mengocek fiksi. Pikiran segar diganggu dengan aneka opini imajinatif. Anak gaul bilang otak kosong, pikiran melayang, lewat. Kalah deh.

Belajar dari DKI, Ahok dengan segala prestasi akhirnya kini di penjara. Sebagai warga negara yang baik mestinya tetap menghormati putusan pengadilan yang menyatakan beliau bersalah.

Pertanyaan kritis, apakah Ahok benar-benar bersalah ? Cukup menjadi rahasia hati, apalah daya harus diungkapkan.

Lagi dan lagi, Ahok sudah kalah pilkada, masuk penjara lagi. Mungkin mati yang diharapkan saja yang tidak kesampaian. Silent mayority hanya bisa diam mengelus dada.

Kembali ke laptop kembali ke fiksi. Para "pemain" berhasil membangun imajinasi, seolah selain Ahok, DKI akan lebih baik.
Buktinya silahkan dengan kesimpulan masing-masing. Boleh simak pemberitaan media mainstream maupun media sosial.

Jika ke DKI boleh tanya langsung sopir taksi, jika ada keluarga dan sahabat kenalan boleh ditanyakan langsung.

Lain DKI lain NTT. Seolah tidak mau kalah dengan DKI, opini-opini imajinatif di NTT pun bertebaran. Tujuannya sama. Demi framing konstituen agar menang pada hari "H".

Kasus korupsi yang ditangkap disebut hasil operasi politik yang keji. Rekam jejak politisi yang terang-terangan tidak bersama orang NTT senasib dengan Ahok, berkomentar tanpa beban, kini serasa begitu mudahnya pendukungnya lupa hingga memperlakukannya bak utusan, bak juru selamat yang akan menebus mereka dari cengkeraman aneka penyakit sosial kemasyarakatan yg kian erat melilit.

Agama dipakai sebagai media untuk berkampanye, isu SARA kencang dimainkan dan aneka fiksi imajinatif lainnya pun tak kalah digocek.

Banyak sekali pahlawan kesiangan bermunculan. Baper, bawa-bawa perasaan. Segala kejadian dikemas sentimentil. Yang baca membaca seakan menangis terisak-isak. Sungguh kejam pihak sana.

Mari, kita lebih banyak lagi menuntut, bersuara keras, kenapa bukan begini, kenapa bukan begitu. Itu kan tugas kamu. Kamu penipu. Tidak ada sedikit pun hal baik ada pada kamu.

Setiap kesalahan atau PR dan aneka tugas pembangunan dilempar ke pihak lain. Dia dan "undangannya" di bagian menuntut dengan segala logika hak. Diperkuat lagi dengan fiksi baper yang dikemasnya begitu rapi.

Tujuannya sederhana, anak gaul bilang, otak kosong pikiran melayang, lewat. Kalah deh.

Menang deh, para pemain fiksi tak bernilai. Target jelas, menang.
Otak jangan kosong, pikiran jangan melayang. Kader yang benar-benar terbaik yang mestinya keluar sebagai duta, sebagai utusan, sebagai satrio pembawa kemenangan sejati, kemenangan atas kemiskinan, kebodohan, kesakitan, ketertinggalan dan lain-lain.

Oleh : Yulius Kolo, Kepala Desa Banain B , TTU-NTT

2 comments for "Kembara Fiksi"

  1. Asyik juga idenya naef kades. Punnya blog sendri pasti banyak ilmu yg di bagi.

    ReplyDelete
  2. Sekarang ini orang yang punya ide, di tulis dan dikirim ke saya. Kita berbagi hal positif saja

    ReplyDelete